Translate

Rabu, 01 Februari 2023

Asal-Usul KH. 'Abdullooh Affandii Zainal Ma'aarif Shoolihuuuuuuun Pendiri PP. Beron

Hartabuta :

Rabu, 1-2-2023.


Bagian 1
Asal Usul KH. Shoolihuuun Beron - Bagian 1

KH. 'Abdullooh Affandii Zainal Ma'aarif Shoolihuuun yg biasa dipanggil Mbah Yai Shoolihuuun merupakan Anak Cucu dari :

1. Kesultanan Yogyakarta Pangeran Sujono/Mangkubumi.

2.Kesunanan Pakubuwono Surakarta Solo.

3. Mangkunegaran Pangeran Sambernyowo.

4. Kerajaan Mataram ISLAAM.

5. Kerajaan Pajang.

6. Kerajaan Demak Bintoro.

7. Kerajaan Mojopahit.

8. Kerajaan Singosari.

9. Kerajaan Doho Panjalu Kediri.

10. Kerajaan Jenggolo Kahuripan.

11. Kerajaan Pajajaran.

12. Adipati Tuban Aryo Adhikoro Ronggolawe.

Hingga tembus ke Ratu Shima Kerajaan Kalingga Jepara, Wongso Sanjoyo, Wongso Tarumanegoro, Salokanegoro, Kerajaan Bima NTB, Kerahaan Kutai dst.

Berdarah gen Para Raja Ratu di Nusantara, Asia Tenggara yang bertemu dengan Gen Al 'Azhomah Choon Al Husainii.

Dari jalur Kesultanan Yogyakarta, KH. Shoolihuuun Pengasuh dan Pendiri PP. Beron I masih dzurriyyah garis lurus dari Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi) bin Sunan Pakubuwono I bin Prabu Amangkurat IV (Jawi) bin Prabu Amangkurat III bin Prabu Amangkurat II bin Prabu Amangkurat I Sedo Ing Tegal Arum bin Sultan Agung Hanyokrowati bin Prabu Mas Jolang Sedo Ing Krapyak bin Prabu Sutowijoyo Senopati Ing Ngalogo Sayyidin Panotogomo bin Ki Ageng Pemanahan bin Ki Ageng Henis bin Ki Ageng Selo 'Abdur Rohmaan bin Raden Lembu Peteng bin Raden Bondan Kejawan bin Prabu Brawijoyo V dg Isteri Selir Dayang Kesayangan Ratu Duworowati Brawijoyo V (Buyut Puteri Kandung Sultan Haadiiwijoyo Mas Karebet Joko Tingkir).

Isteri Permaisuri Wanita Tangguh Olah Keprajuritan Nyai Ageng Ratu binti Ki Ageng Derpoyudho bin Ki Ageng Sulaiman Bekel, Sragen - Jawa Tengah bin Sulatan 'Abdul Qodiir/Qoohir, Bima - NTB.

Punya anak Pangeran Sujono (suka kemewahan dan foya2), punya anak Raden Ontowiryo Sa'iid (Pangeran Diponegoro) yg kelak turunkan dzurriyyah RM. Sutowijoyo,  Demang Merden - Purwonegara - Banjarnegara - Jawa Tengah.

RM. Sutowijoyo kelak turunkan KH. 'Abdullooh Affandii Zainal Ma'aarif Shoolihuuun yg menikah dg Siti Faathimah Awwal/Uulaa binti KH. Syihaabuddiin,  Kauman Rengel bin KH. Syuhadaa", Kauman - Rengel bin Nyai Lurah + KH. Shoolih Auliyaa" (Dzurriyyah Sayyid 'Arfiyyah Awwal dan Tsaanii Mojoduwur - Berbek - Nganjuk bin Sayyid Jumaalii Tuyuhan Lasem bin Sayyid KH.  Pangeran 'Abdur Rohmsan Sambu Lasem I) binti KH. Muusaa Choothib Anom Tengah, Kingking - Makam Agung - Tuban + (Nyai Shofiyyah Dzurriyyah Sayyid KH. Pangeran 'Abdur Rohmaan Sambu Lasem I) bin Pangeran Benowo bin Sultan Haadiiwijoyo  Mas Karebet Joko Tingkir bin Raden Kebo Kenongo bin Adipati Raden Husain  Andoyoningrat Al Basyaiban dg Isteri Dewi Pambayun bin Prabu Brawijoyo V lewat Ratu Permaisuri Duworowati Puteri Champa + (Nyi Mas Ratu Cempoko binti Sultan Trenggono bin Sultan Fataah 'Aalam Akbar bin Prabu Brawijoyo V).

Di sink fokus utamanya Kepada Nenek Kandung Pangeran Diponegoro Tani Nyai Agent Rate Permaisuri Sultan Hamengkubuwono I yang pasca Sang Sultan wafat keluar dari Keraton dan menetap di Tegalrejo (1 km dari Keraton).

Kisah Nyai Ageng Ratu (Permaisuri Sultan Hamengku Buwono I "Pangeran Mangkubumi") :

Sumber :

https://id.rodovid.org/wk/Istimewa%3AChartInventory/895033

Ratu Ageng nama yang mirip dengan nama pahlawan Nyai Ageng Serang tapi dua wanita ini adalah beda orang. Ratu Ageng atau seringkali disebut juga Ratu Ageng Tegalrejo ini bukanlah wanita baen-baen (sembarangan). Wanita pendidik yang lahir pada tahun 1735 ini adalah seorang permaisuri dari Sultan Hamengku Buwoni I, dan juga wanita yang melahirkan Sultan Hamengku Buwono II dan ia juga merupakan nenek buyut Ontowiryo.

Belum cukup hanya itu saja, ia juga merupakan seorang Panglima Bregada Langen Kesuma. Bregada Langen Kesuma ini semacam kesatuan pasukan elit khusus perempuan pengawal raja, seperti hanya Trisat Kenya di zaman Amangkurat I yang fenomenal karena kejamnya itu.

Meski personilnya semua dari kaum Hawa, jangan berpikir mereka ini lebay meminjam istilah anak muda jama sekarang. Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus pengawal raja yang sangat tangguh. Meskipun semua anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda ini dilengkapi dengan senjata api laras panjang dan pendek, pedang, keris, tombak, trisula, dwisula, dan lain sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah senjata dan olah kanuragan jangan diragukan lagi. Misal sampeyan suit-suit mereka ini, salah – salah kena gibeng saja masih untung!

Anggapan diatas bukan hanya mitos atau legenda semata, setidaknya kehebatan Bregada Langen Kesuma ini diakui oleh Daendels saat berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada bulan Juli 1809. Ceritanya, dalam acara penyambutan Daendels Bregada Langen Kesuma ini memperagakan salvo senapan dan meriam yang dipergilirkan dengan sempurna. Markas dari kesatuan istimewa ini berada di Pesanggrahan Madyaketawang. Lapangan latihan menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun Pungkuran, di selatan kraton. Untuk lebih lanjut tentang Bregada Langen Kesuma ini di lain kesempatan kita akan membahasnya lebih jauh.

Bobot – bibit - bebet, saya yakin kata tersebut tidak asing indera dengar kita. Tiga kata dalam satu kesatuan tersebut adalah filosofi Jawa yang berkait erat mecari jodoh atau pasangan hidup. Lazimnya ini dipakai untuk memperoleh gambaran tentang kriteria calon pasangan hidup menurut pandangan orang Jawa.

Bukan karena tipikal pemilih atau mengkotak-kotakkan manusia. Berkenaan dengan pasangan hidup, orang Jawa terkesan sangat berhati-hati , meski tidak terlalu selektif dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai garwo (sigare nyowo) ing geghayu bahteraning urep (dalam mengarungi bahtera kehidupan) dalam kesetiaan sampai kiki nini koyo’ mimi lan mintuna.

Dalam pengertian umum, ada tiga perkara yang tidak akan terjangkau untuk diketahui manusia yakni, mati, jodoh, dan rejeki. Namun bagi masyarakat Jawa, setidaknya ada lima perkara yang mana manusia tidak dapat mengetahui dengan pasti akan nasib dalam perjalanan hidupnya ; siji pesthi (mati), loro jodho (jodoh), telu wahyu (anugerah), papat kodrat (nasib), dan lima bandha (rejeki).

Merujuk dari filosifi bobot – bibit – bebet di atas tak lain adalah, dalam hal memilih pasangan hidup yang ideal bagi masyarakat Jawa adalah salah satu bagian terpenting dalam perjalanan hidup ketika berumah tangga dan berketurunan. Sebab kesalahan memilih pasangan yang dinikahi dapat berdampak buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan. Bahkan ada pepatah mengatakan, “Malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika ia salah memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya”.

Dalam konteks Ratu Ageng ini, filosofi Jawa diatas semuanya komplit ada pada dirinya. Bagaimana tidak, selain yang sudah saya narasikan di atas jika ia adalah seorang permaisuri sekaligus dari rahimnya terlahir seorang Nata. Hal ini tidaklah mengherankan, karena Ratu Ageng ini adalah anak perempuan dari seorang kyai masyur pada jamannya, yakni Kyai Ageng Derpoyudho dari Majangjati, Sragen. Lumrah adanya selain karena kecerdasannyam Ratu Ageng ini terkenal karena alimnya.

Jika kita telisik lebih jauh lagi tentang silsilah Ratu Ageng ini, bisa jadi ada pengetahuan yang benar-benar baru dan baru kita ketahui. Kyai Ageng Depoyudho ini adalah putera dari Kyai Ageng Datuk Sulaiman atau sering disebut juga Kyai Sulaiman Bekel yang lahir sekitar tahun 1601, ia adalah anak tertua dari Sultan Abdul Kahir. Leluhur Ratu Ageng dapat dilacak dari sisi ibunya hingga ke Sultan Bima Pertama Abdul Kahir, Sumbawa, yang telah menghabiskan banyak waktu di Jawa untuk mendalami ilmu agama di pesantren-pesantren. Pada kesempatan lain kita akan membahasnya, biar lebih mudah untuk kita menguarainya.

Kasih sayang sang permaisuri yang tercurah terhadap cucu uyutnya ini bertolak belakang dengan anaknya sendiri, Raden Mas Sundoro. Bahkan bisa dikatakan hubungan ibu dan anak ini tidak akur. Lazimnya seorang ibu yang berharap anaknya berbudi pekerti yang baik, hal ini disalah pahami oleh Sundoro (kelak adalah HB II) yang dididik secara keras sesuai tuntunan agama. Tapi begitulan manusia, apapun latarbelakangnya, apakah dari trah bangsawan atau rakyat jelata selalu ada saja yang mbeling.

Karena hubungan ini pula yang mendasari keluarnya Ratu Ageng dari lingkungan keraton ketika suaminya, Hamengku Buwono I mangkat pada tahun 1792 yang kemudian tahtanya diwariskan pada anaknya Raden Mas Sujono ini. Ia lebih memilih tinggal di sebuah dusun kecil sejam perjalan kaki dari keraton, yakni Tegalrejo. Meskipun ia juga tahu jika Raden Mas Sujono pun sangat membenci Belanda. Tapi apa boleh buat, gaya hidup anak kesayangannya tersebut bahkan mengalahkan orang Belanda itu sendiri. Ontowiryo yang masih bocah pun diboyongnya dan hidup ditengah-tengah wong cilik, rakyatnya sendiri.

Bisa jadi, karena dibesarkan dalam lingkungan wong cilik atau rakyat kecil, maka dalam jiwa bocah Ontowiryo tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada orang-orang kecil. Apalagi dalam keseharian, Ontowiryo melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa seorang Ratu Ageng, permaisuri seorang raja, tidak merasa rendah ketika harus bergaul dengan kawulo alit.

Pun, ketika bocah Ontowiryo tanpa canggung membantu nenek uyutnya yang seorang ibu suri ini tangannya belepotan lumpur demi menghidupinya. Bahkan, keteguhan Ratu Ageng yang tidak mau menerima bantuan keuangan dari keraton sangat tertanam kuat dalam alam pikir Ontowiryo yang terbawa hingga akhir hayatnya.

Sebagai wanita ningrat yang terbilang cerdas, hal ini sangat beralasan karena Ratu Ageng sangat gandrung pada literatur-literatur keagamaan, sejarah, dan juga sastra, sehingga rumahnya yang sederhana di Tegalrejo bagaikan sebuah perpustakaan kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda, Ratu Ageng tidak begitu terobsesi. Bahkan, dalam satu riwayat mengatakan Ratu Ageng ini hanya memiliki barang-barang primer yang memang dibutuhkan dalam rumah tangga seperti kebanyakan orang.

Dalam pembentukan watak spiritual Ontowiryo, pola pengasuhan Ratu Ageng terhadap cucu uyutnya ini sangatlah keras. Sejak kecil Ontowiryo telah diajarkan mengenai keislaman dan adat istiadat Jawa tradisional. Hal yang sangat ditanamkan pada diri pangeran kecil mengenai nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan.

Dari Ratu Ageng inilah menjadikan Ontowiryo tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan diskusi keagamaan. Selain itu wilayah Tegalrejo ketika itu pun sudah merupakan daerah yang kental dengan budaya pesantren. Hingga akhirnya pendidikan yang diterima oleh Diponegoro jauh lebih intensif dibandingkan anak-anak dari keluarga ningrat pada umumnya.

Tidak hanya itu banyak kitab-kitab yang dipelajari oleh Pangeran Diponegoro, diantaranya Kitab Tuhfah berisi ajaran sufisme, kitab-kitab ushul Fiqh, teks-teks Islam-Jawa yang berisi moral dan dasar-dasar sastra Jawa, beliau juga mempelajari syair-syair Jawa dan materi ketatatanegaraan serta kerajaan. Salah satu gurunya adalah Kyai Taptojani yang kelak dikemudian hari sebagai penasihat utama untuk urusan agama Diponegoro.

Berkat nenek buyutnya Diponegoro belajar banyak perihal disiplin diri, ketaatan beragama, dan kemampuan atau kepekaan untuk membaur dengan semua kelas masyarakat Jawa. Hidup di Tegalrejo juga mengajarkannya keuntungan yang diraih dari sikap menjaga diri dari lingkungan Keraton Yogyakarta, masuk ke dalam dunia batin sendiri secara intensif, menjadi seorang pecinta kesunyian dan nilai hidup bahwa kedamaian batin itu datang dari olah tapa dan refleksi diri dalam keheningan.

Nah, dipenghujung akhir tulisan ini, ada satu simpulan bahwa pengaruh Ratu Ageng inilah yang mempunyai andil besar dalam pembentukakan kepribadian Diponegoro. Pengalaman agama yang mendalam dan pengaruh yang kuat serta hubungan Ratu Ageng yang luas dengan komunitas-komunitas santri di Jawa Tengah secara tidak langsung memberikan satu kemudahan tersendiri bagi Diponegoro dalam usaha mewujudkan cita-citanya. Membebaskan orang Jawa dari intervensi dan kolonialisasi bangsa Belanda.

Meski dalam hal ini kita tidak mengesampingkan peran tidak langsung dari ibu kandung Diponegoro sendiri, Raden Ayu Mangkarawati yang merupakan selir Hamengku Buwono III yang tak lain adalah anak perempuan dari Kyai Prampelan yang kesohor tersebut. Pun halnya, sang nenek sendiri Ratu Kedhaton yang merupakan wanita sholehah.

Maka tidak berlebihan jika kita beranggapan di balik nama besar Diponegoro ada wanita hebat dibelakangnya, yakni Ratu Ageng atau dalam nama gadisnya Niken Ayu Yuwati ini. Wanita sholehah yang masih terbilang trah Ampel yang sekaligus cucu Sultan Bima di Sumbawa. Meski dalam lembaran sejarah tidak banyak disebutkan seolah tenggelam oleh cucu uyut kesayangannya tersebut. Maka, satu kesimpulan yang bisa jadi sangat provokatif, Ratu Ageng : Wanita Tangguh yang Tercuri dari Sejarah.

Versi 2
KH. Shoolihuuun Beron sebagai :

Cucu Generasi ke 15 dari Sultan Hamengku Buwono I + Nyai Ageng Kanjeng Ratu.

Cucu Generasi ke 13 dari Pangeran Samber Nyowo ( Sunan Paku Buwono II) Kerajaan Surakarta - Solo (Saudara Kandung Sunan Hamengku Buwono I sekaligus Besan).

Keduanya putera kandung Sunan Paku Buwono I bin Prabu Amangkurat Jawi (IV) bin Prabu Amangkurat III bin Prabu Amangkurat II bin Prabu Amangkurat I (Sedo Ing Tegal Arum) bin Sultan Agung Hanyokrokusumo bin Prabu Mas Jolang Sedo Ing Krapyak (dg Permaisuri Nyimas Ratu Banowati binti Pangeran Benowo 'Abdul Haliim bin Sultan Haadiiwijoyo Mas Karebet  Joko Tingkir) bin Prabu Sutowijoyo Senopati Ing Ngalogo Sayyidin Panotogomo bin Ki Ageng Pemanahan bin Ki Ageng Henis bin Ki Ageng Selo 'Abdur Rohmaan bin Raden Lembu Peteng bin Raden Bondan Kejawan  bin Prabu Brawijoyo V dg Isteri Selir (Puteri Dayang Kesayangan Ratu Duworowati Buyut Puteri Kandung Sultan Haadiiwijoyo Mas Karebet Joko Tingkir).

Sebagai Cucu Generasi ke 15 dari Sultan 'Abdul Qoohir Kerajaan Bima NTB.


و الخمد لله رب العالمين 

صلى الله على محمد 

0 komentar:

Posting Komentar